Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan akidah yang benar pula tentang Allah Taâala. Dengan memohon pertolongan Allah kami mencoba mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga ulasan berikut dapat memperkokoh iman kita kepada Allah âAzza wa Jalla.
Makna Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah kebatilan. Allah Taâala berfirman,
Ø°ÙÙÙÙ٠بÙØ£ÙÙÙ٠اÙÙÙÙ ÙÙÙ٠اÙÙØÙÙÙÙ ÙÙØ£ÙÙÙÙ Ù ÙاÙÙدÙعÙÙÙÙ Ù Ù٠دÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙ٠اÙÙبÙاطÙÙÙ ÙÙØ£ÙÙÙ٠اÙÙÙÙ ÙÙÙ٠اÙÙعÙÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙبÙÙرÙ
â(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.â (QS. Al Hajj: 62)
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan dari segala kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhdi asmaâ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Taâala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil Iâtiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).
Cakupan Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah mencakup empat perkara :
- Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
- Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
- Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
- Iman terhadap asmaâ (nama) dan sifat-Nya.
Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh al âAqidah al Washitiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih al âUtsaimin)
Dalil Tentang Keberadaan Allah
Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.
Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu âalaihi wa sallam, âSetiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusiâ (HR. Bukhari dan Muslim).
Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qathâi (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Taâala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Taâala untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.
Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al âAqidah al Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al âUtsaimin).
Iman terhadap Rububiyah
Maksudnya adalah beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan kecuali Allah. Allah Taâala berfirman,
Ø¥ÙÙÙ٠رÙبÙÙÙÙ٠٠اÙÙÙ٠اÙÙÙØ°ÙÙ Ø®ÙÙÙÙ٠اÙسÙÙÙ ÙاÙÙات٠ÙÙاÙÙØ£ÙرÙض٠ÙÙ٠سÙتÙÙة٠أÙÙÙÙا٠٠ثÙÙ Ù٠اسÙتÙÙÙ٠عÙÙÙ٠اÙÙعÙرÙØ´Ù ÙÙغÙØ´Ù٠اÙÙÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙÙÙار٠ÙÙØ·ÙÙÙبÙÙÙ ØÙØ«ÙÙØ«Ùا ÙÙاÙØ´ÙÙÙ Ùس٠ÙÙاÙÙÙÙÙ Ùر٠ÙÙاÙÙÙÙجÙÙÙ Ù Ù ÙسÙØ®ÙÙرÙات٠بÙØ£ÙÙ ÙرÙÙ٠أÙÙاÙÙÙÙ٠اÙÙØ®ÙÙÙÙÙ ÙÙاÙÙØ£ÙÙ Ùر٠تÙبÙارÙÙ٠اÙÙÙ٠رÙبÙ٠اÙÙعÙاÙÙÙ ÙÙÙÙ
âSesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas âArsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.â (QS. Al Aârof: 54).
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Taâala kecuali karena sombong. Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat pada diri Firâaun yang mengatakan kepada kaumnya,
ÙÙÙÙاÙ٠أÙÙÙا رÙبÙÙÙÙ٠٠اÙÙØ£ÙعÙÙÙÙ
â(Seraya) berkata:âAkulah tuhanmu yang paling tinggiâ.â (QS. An Naziâat: 24)
ÙÙÙÙاÙÙ ÙÙرÙعÙÙÙÙÙ ÙÙآأÙÙÙÙÙÙا اÙÙÙ ÙÙØ£Ù Ù ÙاعÙÙÙÙ Ùت٠ÙÙÙÙÙ Ù ÙÙÙ٠إÙÙÙÙ٠غÙÙÙرÙÙ ÙÙØ£ÙÙÙÙÙد٠ÙÙÙ ÙÙاÙÙا٠ÙاÙ٠عÙÙÙ٠اÙØ·ÙÙÙÙÙ ÙÙاجÙعÙÙ ÙÙÙ٠صÙرÙØÙا ÙÙÙعÙÙÙÙ٠أÙØ·ÙÙÙÙع٠إÙÙÙ٠إÙÙÙÙÙ Ù ÙÙسÙÙ ÙÙØ¥ÙÙÙÙÙ ÙØ£ÙظÙÙÙÙÙÙ Ù ÙÙ٠اÙÙÙÙاذÙبÙÙÙÙ
âDan berkata Firâaun: âHai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendustaâ.â (QS. Al Qashash: 38)
Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Taâala berfirman,
ÙÙجÙØÙدÙÙا بÙÙÙا ÙÙاسÙتÙÙÙÙÙÙÙتÙÙÙØ¢ Ø£ÙÙÙÙسÙÙÙ٠٠ظÙÙÙÙ Ùا ÙÙعÙÙÙÙÙÙا ÙÙاÙظÙر٠ÙÙÙÙÙÙ ÙÙاÙ٠عÙاÙÙبÙة٠اÙÙÙ ÙÙÙسÙدÙÙÙÙ
âDan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.â (QS. An Naml: 14).
Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam juga mengakui rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Taâala berfirman,
ÙÙÙÙئÙ٠سÙØ£ÙÙÙتÙÙÙÙ Ù ÙÙÙÙ Ø®ÙÙÙÙÙÙÙÙ Ù ÙÙÙÙÙÙÙÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙ ÙÙØ£ÙÙÙÙÙ ÙÙؤÙÙÙÙÙÙÙÙ
âDan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: âSiapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: âAllahâ, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?â (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al âUtsaimin)
Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang rububiyah Allah.
Iman Kepada Uluhiyah
Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk. Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Taâala berfirman,
Ø°ÙÙÙÙ٠بÙØ£ÙÙÙ٠اÙÙÙÙ ÙÙÙ٠اÙÙØÙÙÙÙ ÙÙØ£ÙÙÙÙ Ù ÙاÙÙدÙعÙÙÙÙ Ù Ù٠دÙÙÙÙÙ٠اÙÙبÙاطÙÙÙ
â Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Alloh, itulah yang batilâ (QS. Luqman: 30).
Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,
ÙÙÙ ÙآأÙرÙسÙÙÙÙÙا Ù ÙÙ ÙÙبÙÙÙÙÙ Ù Ù٠رÙÙسÙÙÙ٠إÙÙاÙÙÙÙÙØÙ٠إÙÙÙÙÙÙ٠أÙÙÙÙÙÙ ÙØ¢ Ø¥ÙÙÙÙ٠إÙÙØ¢ Ø£ÙÙÙا ÙÙاعÙبÙدÙÙÙÙ
â Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: âBahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Akuâ.â (QS. Al Anbiyaâ: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al âUtsaimin)
Antara Rububiyah dan Uluhiyah
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi Ibrahim âalaihis salaam,
ÙÙاÙ٠أÙÙÙرÙØ¡ÙÙÙتÙÙ Ù ÙÙاÙÙÙتÙ٠٠تÙعÙبÙدÙÙÙÙ {75} Ø£ÙÙتÙÙ Ù ÙÙØ¡ÙابÙآؤÙÙÙ٠٠اÙÙØ£ÙÙÙدÙÙ ÙÙÙÙ {76} ÙÙØ¥ÙÙÙÙÙÙ٠٠عÙدÙÙÙÙ ÙÙÙ٠إÙÙاÙÙرÙبÙ٠اÙÙعÙاÙÙÙ ÙÙÙÙ {77} اÙÙÙØ°ÙÙ Ø®ÙÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙدÙÙÙÙ {78} ÙÙاÙÙÙØ°ÙÙ ÙÙÙÙ ÙÙØ·ÙعÙÙ ÙÙÙÙ ÙÙÙÙسÙÙÙÙÙÙ {79} ÙÙØ¥ÙØ°Ùا٠ÙرÙضÙت٠ÙÙÙÙÙÙ ÙÙØ´ÙÙÙÙÙÙ {80} ÙÙاÙÙÙØ°ÙÙ ÙÙÙ ÙÙتÙÙÙÙ Ø«ÙÙ ÙÙ ÙÙØÙÙÙÙÙÙ {81} ÙÙاÙÙÙØ°Ù٠أÙØ·ÙÙ Ùع٠أÙÙ ÙÙغÙÙÙر٠ÙÙÙ Ø®ÙØ·ÙÙئÙتÙÙ ÙÙÙÙ٠٠اÙدÙÙÙÙÙ {82}
âIbrohim berkata : âMaka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).â (QS. Asy Syuâarooâ:75-82)
Tauhid rububyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,
ÙÙÙ٠أÙعÙÙذ٠بÙرÙبÙ٠اÙÙÙÙاس٠{1} Ù ÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙاس٠{2} Ø¥ÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙاس٠{3}
âKatakanlah ;â Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1). Raja manusia(2). Sesembahan manusia(3).â (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini adalah Raja yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, âSiapa Rabbmu?â Maka maknanya, âSiapakah penciptamu dan sesembahanmu?â Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,
اÙÙÙØ°ÙÙÙ٠أÙØ®ÙرÙجÙÙا Ù Ù٠دÙÙÙارÙÙÙ٠بÙغÙÙÙر٠ØÙÙÙ٠إÙÙØ¢Ù٠أÙÙ ÙÙÙÙÙÙÙÙا رÙبÙÙÙÙا اÙÙÙÙ {40}
â(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata :âTuhan kami hanyalah Allohâ (QS. Al Hajj:40)
ÙÙÙ٠أÙغÙÙÙر٠اÙÙÙ٠أÙبÙغÙ٠رÙبÙÙا {164}
âKatakanlah:âApakah aku akan mencari Tuhan selain Allohâ (QS. Al Anâam :164)
Ø¥ÙÙÙ٠اÙÙÙØ°ÙÙÙÙ ÙÙاÙÙÙا رÙبÙÙÙÙا اÙÙÙÙ Ø«ÙÙ Ù٠اسÙتÙÙÙا٠ÙÙا {30}
âSesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan âTuhan kami ialah Allahâ kemudian mereka meneguhkan pendirian merekaâ (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili iâtiqood, Syaikh Sholeh al Fauzan)
Iman kepada Asmaâ (Nama) dan Sifat Allah
Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asmaâ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah âAzza wa Jalla dengan asmaâ dan shifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh asmaâ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asmaâ dan shifat-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
ÙÙÙÙس٠ÙÙÙ ÙØ«ÙÙÙÙÙ Ø´ÙÙÙØ¡ÙÙ ÙÙÙÙÙ٠اÙسÙÙÙ ÙÙع٠اÙÙبÙصÙÙر٠{11}
â Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.â(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al âUtsaimin).
Cabang Keimanan yang Tertinggi
Rasulullah shalallahu âalaihi wa sallaam bersabda, â Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang keimanan.â (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Saâdi menjelaskan, âCabang keimanan yang paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada uluhiyah Allah)â (Bahjatu Quluubil Abrar wa Qurrotu âUyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Saâdi)
Faedah Iman yang Benar
Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang beriman, di antaranya:
- Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Taâala, di mana tidak ada tempat bergantung selain Allah dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
- Sempurnanya kecintaan kepada Allah Taâala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al âUtsaimin)
Semoga Allah Taâala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah dan memberikan kita istiqomah di atas iman yang benar.  Wa shalallahu âalaihi wa âalaa aalihi wa sallaam.
Penulis: Abu âAthifah Adika Mianoki
Murojaâah: M. A. Tuasikal
Memperkokoh Keimanan pada Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar