Allah subhanahu wa taâala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.â (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, âSebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.â Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Athaâ dan Ikrimah (Taisirul âAllaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf haâ tipis).
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. âAisyah radhiyallahuâanha menceritakan bahwa Nabi shallallahu âalaihi wa sallam bersabda, âTidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.â (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didlaâifkan oleh Syaikh Al Albani (Dlaâif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syiâar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu âalaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthiâ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabiâah (guru Imam Malik), Al Auzaâi, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Saâad beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu âUtsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: âPendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampuâ¦â (lih. Syarhul Mumtiâ, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam bersabda, âBarangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.â (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Muâakkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafiâi, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Masâud Al Anshari radhiyallahu âanhu. Beliau mengatakan, âSesungguhnya aku sedang tidak berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.â (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, âAku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.â (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, âTidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.â (lihat Al Muhalla 5/295, dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: ââ¦selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu aâlam. (Tafsir Adwaâul Bayan, 1120).
Yakinlahâ¦! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdoâa: âYaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.â Dan yang kedua berdoâa: âYaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).â (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al Anâaam (hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, âDan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul anâaam).â (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab, yang dimaksud Bahiimatul Al Anâaam hanya mencakup tiga binatang yaitu onta, sapi atau kambing. Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga hewan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijmaâ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Syaikh Ibnu âUtsaimin mengatakan, âBahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sahâ¦â (Syarhul Mumtiâ III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahuâanhu yang mengatakan, âPada masa Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.â (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu âalaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: âYaa Allah ini â qurban â dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.â (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwaâ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: âKaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu âalaihi wa sallam.â
Adapun yang dimaksud: ââ¦kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orangâ¦â adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh dari maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahuâanhu beliau mengatakan, âDahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.â (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: âJika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.â (Syarhul Mumtiâ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: âJika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.â (lih. Majmuâ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu aâlam.
Hukum Qurban Kerbau
Para ulamaâ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausuâah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafiâiyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al âInayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Isi Pertanyaan:
âKerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Anâam 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?â
Beliau menjawab:
âJika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqurâan adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.â (Liqaâ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu aâlam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita, ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syariâat. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi âqurbanâ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulamaâ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bidâah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu âalaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang telah meninggal, mendahului beliau shallallahu âalaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah. - Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumtiâ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)
Umur Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam bersabda, âJanganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadzaâah.â (Muttafaq âalaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan musinnah karena hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: powâel). Adapun rincian usia hewan musinnah adalah:
No. | Hewan | Usia minimal |
1. | Onta | 5 tahun |
2. | Sapi | 2 tahun |
3. | Kambing jawa | 1 tahun |
4. | Domba | 6 bulan (domba Jadzaâah) |
(lihat Syarhul Mumtiâ, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?
Yan menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya, umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan musinnah dan hewan jadzaâah, mereka menjelaskannya dengan batasan usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu aâlam.
Berkurban dengan domba jadzaâah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadzaâah dengan syarat kesulitan untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadzaâah (usia 6 bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk berqurban dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama. Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran. Sebagaimana dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba jadzaâah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan jadzaâah hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu aâlam. (Syarh Shahih Muslim An Nawawi 6/456)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas â orang yang melihatnya menilai belum buta â meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulamaâ madzhab syafiâiyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas, misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh diqurbankan.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumtiâ 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu aâlam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: âDulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: âKamu berhutang untuk beli unta qurban?â beliau jawab: âSaya mendengar Allah berfirman: ÙÙÙÙÙ Ù ÙÙÙÙÙا Ø®ÙÙÙرÙ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36). (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi shallallahu âalaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: âAda empat cacatâ¦dan beliau berisyarat dengan tangannya.â (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu âalaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu âalaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthiâ 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dloâif, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthiâ 7/470)
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Panduan Ibadah Qurban (bagian 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar