Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عÙÙ٠أÙÙ
Ù٠اÙÙÙ
ÙؤÙÙ
ÙÙÙÙÙÙ٠أÙÙ
Ù٠عÙبÙد٠اÙÙÙ٠عÙائÙØ´Ùة٠رÙضÙÙ٠اÙÙÙ٠عÙÙÙÙÙا ÙÙاÙÙت٠: ÙÙاÙ٠رÙسÙÙÙÙ٠اÙÙÙ٠صÙÙÙÙ٠اÙÙÙ٠عÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙسÙÙÙÙÙ
: Ù
ÙÙ٠أÙØÙدÙØ«Ù ÙÙÙ٠أÙÙ
ÙرÙÙÙا ÙÙØ°Ùا Ù
Ùا ÙÙÙÙس٠Ù
ÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙÙ٠رÙدÙÙ. (رÙا٠اÙبخار٠ÙÙ
سÙÙ
) ÙÙ ÙÙÙ٠رÙÙÙاÙÙØ©Ù ÙÙÙ
ÙسÙÙÙÙ
Ù : Ù
ÙÙ٠عÙÙ
ÙÙ٠عÙÙ
ÙÙا٠ÙÙÙÙس٠عÙÙÙÙÙÙ٠أÙÙ
ÙرÙÙÙا ÙÙÙÙÙ٠رÙدÙÙ.
Diriwayatkan dari Ummul-Mu’minin, Ummu ‘Abdillah, âAisyah x ia berkata: Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam telah bersabda: âBarangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolakâ. (HR al Bukhari dan Muslim). Dalam hadits riwayat Muslim: Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam bersabda: âBarangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia ditolakâ.
BIOGRAFI PERAWI HADITS
Beliau adalah Ummul-Mu’minin, âAisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhuma, isteri Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam yang dinikahi di Mekkah pada saat berusia enam tahun. Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika ia berusia sembilan tahun, yaitu pada tahun kedua Hijriyyah dan beliau tidak menikah dengan gadis selainnya.
Dia adalah isteri yang paling dicintai di antara isteri-isteri beliau yang lainnya. Dia adalah wanita yang dibebaskan oleh Allah dari berita bohong yang menimpanya dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam . Dia banyak menghafal hadits, dan termasuk wanita yang paling pandai. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam mengabarkan kepadanya, bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam menitip salam kepadanya.
Pada saat Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam meninggal dunia, ia berusia delapan belas tahun. Dikabarkan bahwa ia adalah wanita termulia dan akan menjadi isteri Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam di surga. âAisyah wafat pada tahun 58 Hijriyyah dalam usia 67 tahun, dan dikuburkan di pemakaman Baqiâ.[1]
TAKHRIJUL-HADITS
1. Shahih al Bukhari, kitab ash-Shulhi, bab Idzas Tholahu âala Shulhi Jaurin, no. 2550.
2. Shahih Muslim, kitab al Aqhdiyah, bab Naqdhil-Ahkamil Bathilah wa Raddi Muhdatsatil-Umur (no. 1718 (17, 18).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis-Sunnah, no. 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al Muqaddimah, no. 14.
5. Musnad Imam Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270).
6. Shahih Ibni Hibban, no. 26 dan 27.
AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) t berkata,”Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemunkaran.”
Ibnu Daqiqil-âId (wafat tahun 702 H) rahimahullah berkata,”Hadits ini adalah salah satu pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan jawamiâul kalim (kalimat yang pendek namun penuh arti) yang dikaruniakan kepada Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam . Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bidâah, dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah, bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.”[2]
Ibnu Rajab al Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata,”Hadits ini adalah salah satu prinsip dasar yang agung dari prinsip-prinsip dasar Islam, dan menjadi barometer dari setiap amal perbuatan yang zhahir (terlihat). Sebagaimana hadits,’Innamal-aâmalu binniyatâ¦(sesungguhnya seluruh amal perbuatan tergantung dengan niatnyaâ¦)’. merupakan barometer dari setiap perbuatan dari segi batin (niat)”.
Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak berpahala. Demikian pula halnya dengan segala amal perbuatan yang tidak atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun. [3]
Al Hafizh Ibnu Hajar al âAsqalani rahimahullah berkata,”Hadits ini termasuk bagian dari prinsip-prinsip dasar Islam dan merupakan satu kaidah dari kaidah-kaidah Islam.â[4]
FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1. Pelaksanaan Syariâat Islam Harus Dilakukan Dengan Cara Ittibaâ (Mengikuti), Bukan Ibtidaâ (Mengada-ngada).
Melalui hadits ini Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam menjaga kemurnian Islam dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawamiâul kalim (kalimat singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai nash al Qur`an yang menyatakan, bahwa keselamatan seseorang hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam , tanpa menambah ataupun mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
ÙÙÙ٠إÙÙÙ ÙÙÙÙتÙÙ
٠تÙØÙبÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙÙÙ ÙÙاتÙÙبÙعÙÙÙÙÙ ÙÙØÙبÙبÙÙÙÙ
٠اÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙغÙÙÙر٠ÙÙÙÙÙ
Ù Ø°ÙÙÙÙبÙÙÙÙ
Ù Û ÙÙاÙÙÙÙÙ٠غÙÙÙÙر٠رÙØÙÙÙ
Ù
Katakanlah (wahai Muhammad): âJika kalian semua mencintai Allah, maka ikutilah aku; tentu Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Ali âImran/3:31].
Juga firman-Nya:
ÙÙÙ
ÙÙÙ ÙÙبÙتÙغ٠غÙÙÙر٠اÙÙØ¥ÙسÙÙÙاÙ
٠دÙÙÙÙا ÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙبÙÙÙ Ù
ÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙÙÙ ÙÙ٠اÙÙآخÙرÙØ©Ù Ù
ÙÙ٠اÙÙØ®ÙاسÙرÙÙÙÙ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali âImran/3:85]
Juga dalam firman-Nya,
ÙÙØ£ÙÙÙÙ ÙÙٰذÙا صÙرÙاطÙÙ Ù
ÙسÙتÙÙÙÙÙ
Ùا ÙÙاتÙÙبÙعÙÙÙÙ Û ÙÙÙÙا تÙتÙÙبÙعÙÙا اÙسÙÙبÙÙÙ ÙÙتÙÙÙرÙÙÙ٠بÙÙÙÙ
٠عÙÙ٠سÙبÙÙÙÙÙÙ
Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang sesat) karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku. [al Anâam/6:153].
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa dalam khutbahnya, Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam bersabda:
ÙÙØ¥ÙÙÙ٠أÙصÙدÙÙ٠اÙÙØÙدÙÙÙØ«Ù ÙÙتÙاب٠اÙÙÙÙ ÙÙØ®ÙÙÙرÙاÙÙÙÙدÙÙÙ ÙÙدÙÙÙ Ù
ÙØÙÙ
ÙÙد٠صÙÙÙÙ٠اÙÙÙ٠عÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙسÙÙÙÙÙ
ÙÙØ´ÙرÙ٠اÙÙØ£ÙÙ
ÙÙÙر٠Ù
ÙØÙدÙØ«ÙاتÙÙÙا ÙÙÙÙÙÙÙ Ù
ÙØÙدÙØ«Ùة٠بÙدÙعÙØ©Ù ÙÙÙÙÙÙ٠بÙدÙعÙة٠ضÙÙاÙÙÙØ©Ù.
Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (al Qur`an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu âalaihi wa sallam . Seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat adalah bidâah, sedangkan semua bidâah adalah sesat.
Dalam riwayat al Baihaqi dan an-Nasa-i terdapat tambahan:
ÙÙÙÙÙÙ٠ضÙÙاÙÙÙØ©Ù ÙÙ٠اÙÙÙÙارÙ.
Dan semua kesesatan masuk neraka.
2. Berbagai Perbuatan Yang Tertolak.
Hadits ini merupakan dasar yang jelas, bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syariâat adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa semua perbuatanâbaik yang berhubungan dengan perintah maupun laranganâterikat dengan hukum syariâat. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari ketentuan syariâat; seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syariâat, dan bukan syariâat yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu, setiap muslim wajib menyatakan, perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syariâat adalah bathil dan tertolak.
Perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan syariâat ini terbagi dua. Pertama, dalam masalah ibadah. Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Pertama : Dalam masalah ibadah.
Hukum asal ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang dicontohkan oleh syariâat. Setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Taâala dengan suatu ibadah, maka harus ada dalil shahih yang menunjukkan disyariâatkannya ibadah tersebut. Jika ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syariâat, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Taâala :
Ø£ÙÙ
Ù ÙÙÙÙÙ
Ù Ø´ÙرÙÙÙاء٠شÙرÙعÙÙا ÙÙÙÙÙ
Ù Ù
ÙÙ٠اÙدÙÙÙÙÙ Ù
Ùا ÙÙÙ
Ù ÙÙØ£ÙØ°ÙÙ٠بÙÙ٠اÙÙÙÙÙÙ
Apakah mereka mempunyai sekutu selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? [asy-Syura/42:21].
Contohnya, mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari, melihat wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasar pada syariâat. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah, sehingga tidak bisa melihat kebenaran; bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim, bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ada-adakan.
Mereka ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang menciptakan satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkan hujjah (ilmu) atasnya. Allah Subhanahu wa Taâala berfirman:
ÙÙÙ
Ùا ÙÙاÙ٠صÙÙÙاتÙÙÙÙ
٠عÙÙÙد٠اÙÙبÙÙÙت٠إÙÙÙÙا Ù
ÙÙÙاء٠ÙÙتÙصÙدÙÙÙØ©Ù Û ÙÙØ°ÙÙÙÙÙا اÙÙعÙØ°Ùاب٠بÙÙ
Ùا ÙÙÙÙتÙÙ
٠تÙÙÙÙÙرÙÙÙÙ
Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiranmu itu. [al Anfal/8:35].
Terkadang suatu perbuatan disyariâatkan dalam suatu ibadah, tetapi tidak menjadi ibadah yang benar pada waktu dan tempat yang lain.
Sebagai contoh, berdiri dalam shalat adalah amal (perbuatan) ketaatan yang disyariâatkan. Akan tetapi, sengaja berdiri di bawah sengatan terik matahari ketika melakukan puasa tidaklah disyariâatkan. Pernah, pada masa Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya.[5]
Para ulama telah sepakat, suatu ibadah tidaklah sah, kecuali apabila terkumpul dua syarat. Yaitu ikhlas karena Allah dan mutabaâah (mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam ). Hendaknya diketahui, bahwasanya mutabaâah (ittiba) tidak akan terwujud, melainkan bila amal itu sesuai dengan syariâat Islam dalam enam perkara: (a) sebabnya, (b) jenisnya, (c) kadar (bilangan/ukuran)nya, (d) kaifiyat (cara)nya, (e) waktunya, dan (f) tempatnya.
a. Sebabnya.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bidâah dan tidak diterima. Misalnya, ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam 27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam miâraj Rasulullah (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut, maka ia menjadi bidâah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini sangat penting, karena dengan demikian akan dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bidâah.
b. Jenisnya.
Maksudnya, ibadah harus sesuai dengan syariâat dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi ketentuan syariâat dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing.
c. Kadar (bilangan/ukuran)nya.
Jika ada seseorang yang menambah bilangan rakaâat shalat, yang menurutnya penambahan itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bidâah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam hal jumlah bilangan raka’atnya. Jadi apabila ada orang shalat Zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
d. Kaifiyat (cara)nya.
Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud terlebih dahulu sebelum ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariâat.
e. Waktunya.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban atau hadyu pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka sembelihan (kurban)nya tidak sah, karena waktu pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh lain, orang yang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima.
f. Tempatnya.
Andaikata ada orang yang beriâtikaf di tempat selain masjid, maka iâtikafnya. tidak sah. Sebab, tempat iâtikaf hanyalah di masjid.[6]
Kedua : Dalam masalah muâamalah.
Hukum asal dalam mu’amalah adalah dihalalkan, kecuali mu’amalah yang diada-adakan; yang memang ada keterangan dari syariâat yang menunjukkan diharamkannya mu’amalah tersebut.
Keterangannya sebagai berikut:
a. Berbagai akad yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti dari akad syariâat yang sah.
Contohnya, kejadian pada masa Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam . Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Rasulullah dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya, kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan Imam Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu âalaihi wa sallam didatangi seseorang. Orang itu berkata: âAnakku bekerja pada si Fulan, lalu ia berzina dengan isterinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar penuturannya, maka Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam bersabda: âSeratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu, dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahunâ.
b. Akad yang dilarang menurut syariâat, seperti:
- Pernikahan yang haramkan oleh Allah dengan sebab kerabat, atau nasab, atau menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil (tidak sah).
- Hilangnya salah satu syarat dalam akad, seperti nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda, maka akad nikahnya tidak sah.
- Akad yang diharamkan oleh Allah Taâala, seperti jual-beli khamr (minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua jual-beli yang dilarang menurut syariâat, maka akadnya bathil dan tertolak.
- Akad yang di dalamnya ada kezhaliman atau penipuan, maka dikembalikan kepada yang dizhalimi, dan lainnya.
Demikian juga semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syaraâ, atau dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad, maka akad tersebut bisa batal dan tertolak. Permasalahan ini, tentang sah dan tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secara lebih rinci bisa dibaca di kitab-kitab fiqih.
3. Perbuatan Yang Diterima.
Dalam kehidupan, ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariâat, bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syariâat. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Hal inilah yang disebut dengan maslahat mursalah. Para sahabat banyak mencontohkan hal ini. Seperti menghimpun al Qur`an pada masa Abu Bakar, penyeragaman (bacaan) al Qur`an pada masa âUtsman bin âAffan dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para qariâ.
Contoh lainnya, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi ini.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syariâat, maka perkara tersebut tergolong bidâah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariâat, tetapi bahkan sesuai dan didukung syari’at, maka perkara tersebut baik dan diterima.
Dari perkara-perkara itu ada yang sunnah, ada juga yang sifatnya fardhu kifayah. Bidâah yang sesat pun bervariasi; ada yang makruh dan ada yang haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bidâah tersebut, seseorang bisa terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Misalnya, orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syariâat Allah, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi yang meremehkan berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul wujud ataupun hulul (manunggaling kawulo gusti) dan berbagai perilaku sesat lainnya; maka perbuatan ini jelas-jelas kufur, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam; tentunya, setelah terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang yang membuat dia keluar dari Islam.
Yang juga termasuk bidâah sayyiâah atau sesat, yaitu pengagungan terhadap suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut dengan keyakinan, bahwa benda yang ia agungkan bisa memberi manfaat. Misalnya mengagungkan pohon, batu atau lainnya. Pernah, suatu saat para sahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang-orang musyrik.
Diriwayatkan dari Abu Waqid al Laitsi Radhiyallahu anhu , ia berkata:
Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam ke Hunain, dan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang disebut dzatu anwath. Mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Kami pun berkata: âYa, Rasulullah. Buatkanlah kami dzatu anwath sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai dzatu anwath.â Rasulullah bersabda:
سÙبÙØÙاÙ٠اÙÙÙÙ ÙÙØ°Ùا ÙÙÙ
Ùا ÙÙاÙÙ ÙÙÙÙÙ
Ù Ù
ÙÙسÙ٠اجÙعÙÙÙ ÙÙÙÙا Ø¥ÙÙÙÙÙا ÙÙÙ
Ùا ÙÙÙÙÙ
٠آÙÙÙÙØ©Ù ÙÙاÙÙÙØ°ÙÙ ÙÙÙÙسÙ٠بÙÙÙدÙÙÙ ÙÙتÙرÙÙÙبÙÙÙ٠سÙÙÙÙØ©Ù Ù
ÙÙÙ ÙÙاÙÙ ÙÙبÙÙÙÙÙÙ
Ù.
[Subhanallaah, hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa (Bani Israil kepada Musa),âBuatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka memiliki sesembahan'. âQS al Aâraf/7 ayat 138- Demi Rabb yang diriku berada di tangan-Nya, kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu]. [HR at-Tirmidzi no. 2181. Beliau berkata,"Hadits ini hasan shahih.â].
Dalam hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan perkataan tersebut, mereka ucapkan karena ketidaktahuan.
Hadits kedua, âBarangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia (amalan tersebut) ditolakâ, karena sebagian ahli bidâah membantah hadits pertama âBarangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolakâ. Mereka berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan, telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.
Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
1. Dari hadits di atas bisa kita pahami, barangsiapa yang mereka-reka satu amalan, maka dosanya, ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.
2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam ibadah, seperti doa dan dzikir tertentu yang tidak ada Sunnahnya dari Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam , maka ia telah berdosa dari empat segi.
a. Meninggalkan doa dan dzikir yang disyariâatkan.
b. Menambah-nambah syariâat Islam.
c. Mensunnahkan sesuatu yang tidak disyariâatkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka, bahwa hal itu boleh dikerjakan.[7]
KESIMPULAN
Wajib atas setiap penuntut ilmu untuk berhati-hati, dan tidak terburu-buru dalam menghukumi suatu amal ditolak (tidak diterima) berdalil dengan hadits ini. Wajib atasnya untuk melihat dan mencari pendapat ulama tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami kaidah dan prinsip yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan suatu amal diterima atau ditolak.[8] Wallahu Aâlam.
FAWAIDUL HADITS (MANFAAT HADITS)
1. Hadits ini sebagai barometer (timbangan) amal yang zhahir.
2. Perbuatan bid’ah adalah diharamkan dalam agama.
3. Amal perbuatan yang dibangun di atas bidâah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya dampak kerusakan sesuatu tersebut.
5. Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada tuntunan dari syariâat, maka perbuatan itu tertolak, meskipun dilakukan dengan niat yang baik.
6. Amal shalih yang dilakukan tidak mengikuti ketentuan syariâat, seperti enam perkara di atas (yaitu sebab, jenis, kadar, kaifiyat, waktu, dan tempat), maka amalnya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada kekurangan padanya.
8. Kewajiban umat Islam adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan ittibaâ kepada Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam .
9. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutabaâah (mengikuti contoh Rasulullah).
MARAJIâ
1. Syarah al Arbaâin li Ibni Daqiqil âId, Cet. Th. 1427 H, Dar Ibni Hazm.
2. Jamiâul-âUlum wal-Hikam, tahqiq Syaikh Syuâaib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
3. Al Wafi fi Syarhil-Arbaâin an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al Bugha dan Muhyiddin Mostu, Cet. VIII, Th. 1413 H, Maktabah Dar at-Turats.
4. Qawa-id wa Fawa-id minal-Arbaâin an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan, Cet. I, Th. 1408 H, Dar as-Salafiyyah.
5. Syarah al Arbaâin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al âUtsaimin, Cet. III, Th. 1425 H, Dar Tsurayya lin-Nasyr.
6. Fat-hul Qowiyyil Matin fi Syarh al Arbaâin wa Tatimmatul-Khamsin, karya Syaikh âAbdul Muhsin bin Hamd al âAbbad al Badr, Cet. I, Th. 1424 H, Dar Ibni âAffan.
7. Tash-hihud-Duâa`, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Sumber :Â almanhaj.or.id
_______
Footnote
[1]. Lihat biografi lengkap beliau dalam kitab Thabaqat Ibnu Saâad (juz 6, no. 4120) dan al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani, al Ishabah fi Tamyizish-Shahabah (IV/359-360, no. 704).
[2]. Syarah Arbaâin li Ibni Daqiqil-âId, Cetakan Dar Ibn Hazm, 1427 H, hlm. 43
[3]. Jamiâul-âUlum wal-Hikam (I/176), tahqiq Syaikh Syuâaib al Arnauth dan Ibrahim Bajis.
[4]. Fat-hul Bari (V/302-303).
[5]. HR al Bukhari, Abu Dawud, dan ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar. Lihat kitab al Wafii fi Syarhi al-Arbaâin an-Nawawiyyah, hlm. 31-32 dan Qawa-id wa Fawa-id, hlm. 76.
[6]. Lihat al Ibdaâ fi Kamalisy Syaraâ wa Khatharil Ibtidaâ, hlm. 20-23 dan Syaikh Muhammad bin Shalih al âUtsaimin t , Syarah Arbaâin, hlm. 114-118.
[7]. Lihat Syaikh Bakr bin âAbdillah Abu Zaid, Tash-hihud-Duâaâ, hlm. 44
[8]. Lihat Qawaid wa Fawaid minal Arbain an-Nawawiyyah, hlm. 80.
Menolak Kemunkaran Dan Bid'ah