Kamis, 27 September 2012

MAKMUM QUNUT SHUBUH DAN AQIQAH ANAK



MAKMUM QUNUT SHUBUH DAN AQIQAH ANAK


Pertanyaan

As-salamu’alaikum warahmatullah wabarakatuhu

Saya termasuk di antara pelanggan As-Sunnah. Melalui surat ini ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada As-Sunnah, yaitu:


1. Di dalam shalat subuh manakah yang benar? Memakai qunut atau tidak. Kalau yang benar tidak memakai qunut, bagaimana sikap saya yang hampir tiap pagi shalat subuh berjama’ah di masjid yang imamnya menggunakan doa qunut?

2. Bagaimana tata-cara aqiqah kelahiran anak? Dan aqiqah itu dalilnya dari mana?


Demikian pertanyaan saya, atas jawaban As-Sunnah saya sampaikan terima kasih. Hadanallah waiyakum ajma’in.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuhu

Mugixxxx, Jl. Latuharhary Menteng Jakarta Pusat 10310


Jawaban

1. QUNUT SUBUH.

Pertanyaan tentang qunut subuh telah kami jawab agak panjang lebar pada Rubrik Soal-Jawab Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:5-9. Ringkasnya, para ulama berbeda pendapat tentang qunut subuh terus-menerus. Syafi’iyah menyatakan qunut tersebut disyari’atkan, sedangkan mayoritas ulama yang lain menyatakan tidak disyari’atkan. Pendapat yang kuat dan benar adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits-hadits tentang qunut subuh terus-menerus semuanya dha’if. Demikian juga hal itu telah dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah oleh para ulama semenjak zaman sahabat.


Adapun tentang sikap seseorang yang shalat di belakang imam yang berqunut, para ulama juga berbeda pendapat.


Al-Imam Al-Wazir Ibnu Hubairah rahimahullah menyatakan: “(Imam) Abu Hanifah dan (imam) Ahmad berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang imam yang berqunut waktu subuh: Apakah makmum tersebut mengikuti imam atau tidak? (Imam) Abu Hanifah berkata: “Dia tidak mengikuti imam”, (imam) Ahmad berkata: “Dia mengikuti imam”. [1]


DR. Muhammad Ya’qub Thalib ‘Ubaidi menjelaskan alasan masing-masing pendapat di atas dengan menyatakan: “Abu Hanifah menjelaskan alasan makmum tidak mengikuti imam, yaitu bahwa qunut subuh itu adalah hukum mansukh (yang telah dihapuskan), sebagaimana takbir ke lima pada shalat jenazah. Walaupun Abu Yusuf berpendapat: makmum mengikuti imam, sebagaimana pendapat imam Ahmad, tetapi pendapat yang dipilih pada madzhab Hanafiyah adalah makmum berdiri diam saja. Dan imam Ahmad menjelaskan alasan makmum mengikuti imam, yaitu agar makmum tidak menyelisihi imamnya, dan karena para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka terus-menerus bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal ada perselsihan di antara mereka dalam masalah furu’ (cabang). [2]


Pendapat yang rajih –wallahu a’lam- adalah pendapat Hanafiyah, yaitu makmum tidak mengikuti imam, karena qunut tersebut tidak disyari’atkan di dalam shalat. Hal itu sebagaimana ketika para sahabat mengikuti perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melepaskan sandal ketika shalat, yang kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya. Sebagaimana riwayat di bawah ini:


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا


“Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat dengan para sahabat beliau, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandal beliau lalu meletakkan kedua sandal tersebut pada sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat melihat hal itu, mereka melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu melepaskan sandal kamu? Mereka menjawab: “Kami melihat anda melepaskan kedua sandal anda, maka kamipun melepaskan sandal kami”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Jibril Alaihissallam mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandal (ku) itu ada kotoran”. [HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Abi Dawud no:650]


Tetapi walaupun demikian, perbedaan pendapat dalam sikap makmum ini tidak boleh menjadikan kaum muslimin berpecah belah dan saling membenci karenanya.


2. AQIQAH ANAK

Tentang dalil aqiqah kelahiran anak sebenarnya sangat masyhur di kalangan para ulama, anda dapat menjumpainya hampir di dalam kitab-kitab hadits dan fiqih. Di bawah ini kami paparkan secara ringkas dalil dan tata-caranya:


1. Jumhur (mayoritas) ulama Ahlus Sunnah berpendapat aqiqah hukumnya mustahab (disukai). Hal itu dengan cara: disembelihkan kambing pada hari tujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى


“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari tujuh, dicukur, dan diberi nama.” [3].


2. Untuk bayi laki-laki disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan bayi perempuan satu kambing, boleh kambing jantan atau betina. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ أَذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا


“Untuk bayi laki-laki disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan bayi perempuan satu kambing, tidak mengapa kambing jantan atau betina”. [4]


3. Jika orang tua tidak melakukan aqiqah untuk anaknya, apakah anak tersebut mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa? Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) tidak melakukannya, karena tidak ada satupun hadits shahih tentang hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi, tetapi hadits ini mungkar, sebagaimana dikatakan oleh imam Ahmad. Wallahu a’lam. [5]


Tambahan:

Kebiasaan sebagian orang Jawa merayakan kelahiran anak itu pada hari ke 5, yang disebut dengan istilah “sepasaran bayi”, tentaulah hal ini menyelisihi ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diatas.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VI/1422H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Sumber : almanhaj.or.id

_______

Footnote

[1]. Kitab Al-Ifshah Libni Hubairah 1/324

[2]. Footnote Kitab Al-Ifshah Libni Hubairah 1/324

[3]. HSR. Abu Dawud no:2838; Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Samurah bin Jundub. Dishahihkan oleh Al-Hakim, disetujui oleh Adz-Dzahabi, dan oleh Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini. Lihat Al-Insyirah Fii Adabin Nikah, hal:970

[4]. HSR. Abu Dawud no:2835; Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Ummu Kurz. Dishahihkan oleh Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini. Lihat Al-Insyirah Fii Adabin Nikah, hal:97

[5]. Lihat Al-Insyirah Fii Adabin Nikah, hal:99, oleh Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini]



MAKMUM QUNUT SHUBUH DAN AQIQAH ANAK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar